Menyikapi Persoalan Stunting: Pendekatan Sistemis dan Multi-Sektor

FOOD SECURITY

Dwi Uli

9/7/20234 min read

Gambar : Salah satu kampanye cegah stunting yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI

Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia digemparkan oleh Pidato Presiden Jokowi mengenai anggaran stunting atau anak yang mengalami gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi. Pemerintah daerah menganggarkan perjalanan dinas lebih banyak dibanding alokasi untuk Pemberian Gizi Tambahan (PMT). Selain itu, dalam beberapa liputan media, juga ditemukan anggaran stunting yang digunakan untuk pembangunan fisik dan kendaraan operasional fasilitas kesehatan masyarakat. Bagaimana pemerintah dapat menurunkan prevalensi stunting ke 14% di tahun 2024?

Indonesia masih menjadi satu-satunya negara dengan GDP per capita di atas USD$ 10.000 di ASEAN yang memiliki angka stunting di atas 30% pada tahun 2018 (1). Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia di tahun 2022, dalam empat kategori status gizi balita (Stunting, Wasting, Underweight, Overweight), angka stunting turun paling signifikan selama satu dekade terakhir, namun satu dari lima balita di Indonesia masih masuk dalam kategori stunting. Beberapa provinsi di Indonesia seperti Sulawesi Barat, Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara, bahkan memiliki prevalensi stunting di atas tiga puluh persen dan menunjukan peningkatan (2). Stunting memiliki dampak negatif pada kemampuan kognitif anak, sehingga kemampuan akademis dan menghasilkan pendapatan anak di masa dewasa akan terganggu. Dengan tingkat prevalensi yang cukup besar seperti di Indonesia, Indonesia akan kehilangan sumber daya manusia berkualitas dalam jumlah yang signifikan jika tidak ada intervensi yang sistematis dalam penanganan stunting.

Banyak penelitian dan bukti empiris di berbagai negara yang menunjukan bahwa memberikan PMT pada balita saja tidak akan cukup mengentaskan stunting. Risiko stunting sudah ada saat calon ibu tidak memiliki gizi yang baik dan mengidap anemia, terdapat hubungan yang kuat antara tingkat anemia pada ibu dan stunting pada anak yang dilahirkan. Perlu di garis bawahi, PMT hanya bersifat tambahan, makanan utama masyarakat harus tetap bergizi. Namun demikian, apakah masyarakat sudah paham mengenai komposisi makanan bergizi? Konsumsi protein hewani yang berperan penting untuk mencegah anemia dan stunting juga masih tergolong rendah. Data susenas menunjukan bahwa konsumsi buah dan sayur hanya sepertiga anjuran WHO. Persoalan selanjutnya, makanan bergizi tidak mudah didapatkan bukan hanya bagi masyarakat dengan ekonomi rentan. Tingkat kemiskinan di bawah tingkat prevalensi stunting menunjukan bahwa bukan hanya masyarakat miskin yang rentan terkena stunting (3). Perubahan perilaku konsumsi makanan masyarakat menjadi lebih bergizi dan tersedianya makanan bergizi yang terjangkau dapat lebih mendorong penurunan stunting karena memperbaiki pola makan utama. Sehingga, PMT tidak bisa diandalkan menjadi alat pamungkas pengentasan stunting.

Pemberian PMT juga mengalami berbagai kendala di lapangan. Sebagai contoh, sebuah akun berkomentar di Instagram, “Gimana dengan dana dari puskesmas untuk daerah yang stunting tinggi. Dikasih Oreo.” Berdasarkan pantauan di sosial media, beberapa ibu enggan untuk pergi ke posyandu karena PMT yang diberikan selalu dalam bentuk biskuit/susu formula yang tinggi gula, bukan protein hewani atau nabati seperti telur dan sayuran seperti zaman dulu. Stigma negatif masyarakat mengenai anak stunting juga membuat orang tua enggan melakukan kontrol tumbuh kembang anak secara rutin ke posyandu. Dibandingkan melihat permasalah stunting secara struktural, lebih mudah untuk menilai stunting adalah kesalahan individu orang tua. Bahkan, survei Kompas membuktikan bahwa sejumlah masyarakat percaya bahwa stunting adalah masalah genetik (16%) (4). Hal ini kemudian dapat menyebabkan orang tua tidak melakukan kontrol rutin dan anak tidak mendapatkan intervensi pencegahan atau pemulihan stunting.

Karena stunting merupakan masalah lintas sektor dan dimensi waktu, kerangka pengambilan kebijakan pemerintah haruslah menggunakan pendekatan sistematis dan kolaboratif untuk memastikan angka stunting turun. Program PMT hanya fokus pada asupan gizi tambahan dan hanya menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga Kesehatan pemerintah. Padahal tingginya angka stunting dapat didorong karena kemiskinan dan lingkungan yang kotor, dua hal yang menjadi tupoksi lembaga pemerintah lainnya. Pemerintah Indonesia mungkin bisa belajar dari Peru yang berhasil menurunkan tingkat stunting dengan signifikan dalam waktu kurang dari setengah dekade.

Peru menghadapi permasalahan yang hampir sama dengan Indonesia dimana pendapatan per kapita meningkat pesat tetapi angka stunting tetap tinggi (47,1%) di tahun 2005. Perubahan pesat terjadi saat pemerintah memberikan komitmen dan menjadikan penanganan stunting sebagai agenda politik nasional, bukan hanya agenda satu lembaga kesehatan nasional. Pemerintah juga melakukan pergeseran paradigma dari solusi stunting yang terbatas pada masalah menyusui ke pendekatan multi-sektor, dengan mengedepankan pemerataan ekonomi dan pelayanan Kesehatan antara desa dan kota. Berubahnya kerangka kerja pemerintah berhasil membuat iklim investasi membaik di berbagai sektor dan berdampak positif pada kesehatan ibu dan anak. Perubahan iklim dalam pengambilan kebijakan yang berdampak sistemis dengan pendekatan multi-sektor menjadi salah satu pendorong berhasilnya program pengangan stunting di Peru.

Sementara ini, pemerintah Indonesia baru mulai mensosialisasikan program pengananan stunting dengan pendekatan muti-sektor di awal tahun 2022. Dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI), Pemerintah menekankan peran dan tanggung jawab lebih dari tiga belas kementrian dan lembaga non-kementrian dalam penganan stunting. Ini menunjukan bahwa pemerintah telah mengakui bahwa berbagai aspek sosial, ekonomi dan lingkungan secara tidak langsung mempengaruhi tingkat stunting di Indonesia secara sistemik. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dan perubahan sistemis untuk mengatasi masalah ini. Setahun telah berlalu dari RAN PASTI mulai disosialisasikan, namun masih terlalu dini untuk menilai keberhasilan RAN PASTI mencapai target 14% di tahun 2024. Mengacu pada prevelansi stunting satu dekade terakhir di Indonesia, hal ini tentu tidak dapat tercapai jika RAN PASTI hanya menjadi wacana pemerintah tanpa perubahan implementasi program yang konkret.

Pemerintah dapat melakukan berbagai hal untuk memastikan keberhasilan RAN PASTI. Pertama, memastikan penerimaan program yang baik dari berbagai sektor dan aktor. BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) menjadi ketua penyelenggara RAN PASTI. Namun dalam perencanaan tersebut terdapat indikator sasaran yang fokus pada peran-peran lembaga pendidikan dan agama dalam sosialisasi mengubah pandangan masyarakat mengenai stunting sebagai penyakit bawaan. Kedua, pemerintah harus bisa memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan program sesuai dengan kondisi stunting di level kabupaten/kota tetapi anggaran belanja nasional hingga daerah harus dipertanggungjawabkan dengan baik dan sesuai dengan indikator sasaran yang dapat terukur. Transparansi pencapaian dan anggaran dapat menjadi kunci untuk menjaga akuntabilitas pemerintah. Ketiga, menekan angka ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Peru berhasil dalam menekan ketimpangan antara ekonomi kota dan daerah untuk mendorong pengentasan stunting. Tidak seperti di Peru, di Indonesia, anak yang hidup diperkotaan lebih rawan terkena stunting akibat buruknya sanitasi dan kualitas air di wilayah kumuh perkotaan (5). Pemerintah bukan hanya harus memperhitungkan dimensi waktu, pencegahan sejak sebelum menikah, tetapi juga dimensi spasial. Ketimpangan ekonomi dapat mendorong laju urbanisasi, yang tanpa persiapan tata kota dan lingkungan yang baik, akan menambah jumlah populasi masyarakat yang hidup di wilayah kumuh tanpa akses air bersih dan sanitasi yang layak. Dengan Langkah-langkah yang konkret dan terintegrasi, diharapkan Indonesia dapat mencapai target stunting 14% di tahun 2024.


Sumber:
(1) World Bank, 2018
(2) Survey Status Gizi Nasional, 2022
(3) Badan Pusat Statistik. (2023, Januari 16)
(4) Survey Kompas, 2023
(5) Harian Kompas, 2023